Meritokrasi
Oleh: Kevin Carson. Teks aslinya berjudul “Meritocracy”. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Iman Amirullah
Support Ringo by considering becoming his Patron.
Belakangan ini aku membaca ulang The Revolt of the Elites karya Christopher Lasch — salah satu penulis favoritku. Salah satu tema terpenting dalam buku itu adalah perbandingan antara ideal demokrasi ala Jefferson dengan ideal meritokrasi yang menggantikannya.
Mereka memahami bahwa jurang ekstrem antara kekayaan dan kemiskinan akan menjadi racun bagi eksperimen demokrasi. Budaya-budaya demokratis, menurut mereka—seperti kemandirian, tanggung jawab, dan inisiatif—paling baik dipelajari melalui praktik menjalankan sebuah usaha kecil atau mengelola sebidang tanah kecil. Apa yang mereka sebut sebagai “kompetensi” merujuk sekaligus pada kepemilikan properti dan kecerdasan serta daya usaha yang dibutuhkan untuk mengelolanya. Karena itu, masuk akal bila demokrasi bekerja paling baik ketika “kompetensi” tersebut tersebar seluas mungkin di antara warga negara.
Secara lebih umum dapat dikatakan: demokrasi bekerja paling baik ketika laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dengan bantuan teman dan tetangga mereka, alih-alih bergantung pada negara.
Seorang anggota kelas produktif seharusnya merasa aman dengan keyakinan bahwa ia dapat menopang hidupnya di masa depan tanpa harus bergantung pada kehendak sewenang-wenang seorang majikan. Tujuan pendidikan pada masa itu adalah membentuk individu yang utuh dan seimbang. Pendidikan ditujukan untuk menyebarkan secara luas kompetensi umum yang diperlukan orang biasa untuk mengelola kehidupan mereka sendiri, dengan asumsi bahwa mereka tetap memiliki kendali atas kekuatan-kekuatan utama yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.
Ketika Lincoln berpendapat bahwa para pendukung free labor “menekankan pendidikan universal,” ia tidak bermaksud bahwa pendidikan berfungsi sebagai sarana mobilitas sosial. Maksudnya adalah bahwa warga negara di sebuah negeri yang bebas diharapkan bekerja dengan kepala sekaligus tangan mereka. Para pendukung free labor berpandangan bahwa “kepala” dan “tangan” seharusnya bekerja sama sebagai kawan; dan bahwa setiap kepala tertentu harus mengarahkan serta mengendalikan pasangan tangan tertentu yang merupakan miliknya sendiri.
Sebaliknya, filosofi meritokrasi beranggapan bahwa fungsi “tangan” dan “kepala” sebaiknya dijalankan oleh kelas sosial yang berbeda, dengan kelas “kepala” mengelola kelas “tangan.” Mobilitas sosial dalam kerangka ini berarti bahwa anggota kelas “tangan” diberi kesempatan untuk dapat naik ke kelas “kepala,” asalkan mereka bersedia bersekolah selama dua puluh tahun dan merendahkan diri di hadapan para birokrat.
Peralihan dari ideal demokratis ke ideal meritokratis mencerminkan perubahan dari kelas menengah yang didasarkan pada kepemilikan properti kecil yang tersebar luas, menuju Kelas Menengah Baru (sebagaimana dijelaskan dalam tulisan sebelumnya) yang didasarkan pada posisi di dalam organisasi besar.
Filosofi meritokrasi, sebagaimana digambarkan Lasch, tidak menuntut kesetaraan kondisi secara nyata, melainkan hanya menekankan mobilitas sosial—yang didefinisikan sebagai tingkat “promosi kaum non-elite ke dalam kelas profesional-manajerial.”
Para elite manajerial dan profesional yang baru… sangat berkepentingan pada gagasan mobilitas sosial—satu-satunya bentuk kesetaraan yang mereka pahami. Mereka ingin meyakini bahwa orang Amerika sejak dahulu selalu menyamakan kesempatan dengan mobilitas ke atas. Namun, jika kita menilik catatan sejarah secara cermat, janji kehidupan Amerika baru diidentikkan dengan mobilitas sosial ketika tafsir-tafsir yang lebih penuh harapan tentang kesempatan mulai memudar.
Sepanjang sebagian besar abad ke-19, orang Amerika memandang tidak normal keberadaan kelas buruh upahan yang tidak memiliki properti maupun kepemilikan usaha ekonomi oleh kelas rente yang hidup sepenuhnya dari hasil akumulasi kekayaan. Hal-hal semacam itu mereka asosiasikan dengan dekadensi dan korupsi Dunia Lama.
Lincoln mengecam apa yang disebutnya sebagai “teori mud-sill,” yakni gagasan “bahwa tak seorang pun bekerja kecuali jika ada orang lain yang memiliki modal dan dengan cara tertentu, melalui penggunaan modal itu, mendorongnya untuk bekerja.” Sebagai tandingan, ia mengemukakan ideal republikan kecil, bahwa “sebagian besar orang bukanlah pembayar tenaga kerja maupun pemberi tenaga kerja.”
Tapi jika kita melihat catatan sejarah, gagasan bahwa “American Dream” selalu tentang mobilitas sosial mulai muncul sebagai interpretasi harapan setelah interpretasi yang lebih optimistis tentang kesempatan mulai memudar.
Sepanjang abad ke-19, banyak orang Amerika memandang kelas pekerja miskin atau kelas penyampai kapitalis yang hidup dari kekayaan yang terakumulasi sebagai hal yang tidak wajar. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang terkait dengan korupsi dan dekadensi—sesuatu yang ingin dijauhi.
Salah satu komentar Lasch yang paling tajam tentang meritokrasi adalah sebagai berikut:
Mobilitas sosial tidak melemahkan pengaruh kaum elite; justru sebaliknya, ia membantu memperkuat pengaruh mereka dengan menopang ilusi bahwa kekuasaan mereka semata-mata didasarkan pada prestasi. Hal ini hanya semakin memperbesar kemungkinan bahwa elite akan menggunakan kekuasaan secara tidak bertanggung jawab, justru karena mereka merasa hampir tidak memiliki kewajiban apapun terhadap para pendahulunya maupun terhadap komunitas yang mereka klaim mereka pimpin.
Sikap ini ditunjukkan dengan sangat jelas oleh salah satu koresponden Joe Bageant:
Dalam esai Anda “Sons of a Laboring God”, Anda menulis: “Siapa pun yang benar-benar percaya bahwa semua orang miskin pekerja keras ini bisa mengalahkan sistem, mengangkat diri sendiri dengan tali sepatu mereka, hanyalah seorang ideolog neokonservatif atau anak dari keluarga berada.” Saya tumbuh besar dengan bergantung pada tunjangan kesejahteraan. Saya tidak punya pemanas ruangan di rumah, sumur kami kering hampir sebulan setiap musim panas, dan pada satu masa saya hanya punya dua celana jeans robek yang kekecilan dan lima kaus penuh noda untuk kupakai selama berbulan-bulan.
Saya menjalani kuliah dengan menahan lapar dan sekarang saya menghasilkan 75.000 dolar pertahun — padahal usiaku baru 27 tahun. Saya berhasil lolos dengan susah payah, setiap saat saya diliputi ketakutan karena tidak bisa membayar uang kuliah, takut dikeluarkan dari asrama dan tidak punya tempat tinggal. Saat mereka memberiku ijazah, saya menangis begitu keras hingga tidak bisa melihat. Sata bahkan lupa menjabat tangan dekan. Itu tidak mudah, tapi dengan sedikit pengorbanan hal itu mungkin dilakukan. Mobilitas ke atas di AS bukanlah mitos atau angan-angan kosong.
Alasan orang-orang yang kamu bicarakan tidak bisa naik kelas dalam hidup bukanlah kesalahan siapa pun kecuali mereka sendiri…. Tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak kuliah. Mereka hanya tidak mau.
Argumen “siapa saja yang mau bekerja cukup keras membangun piramida bisa tumbuh menjadi Firaun” ini, tentu saja, adalah sebuah kekeliruan klasik dalam logika komposisi: Bageant menegaskan bahwa mustahil bagi “semua orang miskin pekerja keras ini” (penekanan ditambahkan) untuk maju dalam sistem meritokrasi, sementara koresponden itu menganggap bahwa contoh satu orang yang berhasil sudah cukup membuktikan Bageant salah.
Sulit rasanya membaca halaman editorial atau majalah berita arus utama tanpa menemukan versi dari argumen yang sama: pendidikan, pendidikan, dan lebih banyak pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua ketimpangan kelas. Baik kaum liberal teknokrat maupun intelektual neokonservatif (yang jika dikupas, sebenarnya juga seorang liberal teknokrat) sama-sama mengulanginya. Bageant dengan cepat meruntuhkan argumen itu.
Bayangkan begini: sebuah imperium hanya membutuhkan sekitar 20–25% penduduknya, paling banyak, untuk mengatur dan mempertahankan dirinya — melalui profesi seperti pengacara, manajer asuransi, manajer keuangan, dosen perguruan tinggi, manajer media, ilmuwan, birokrat, berbagai jenis manajer, serta aneka profesi dan semi-profesi lainnya.
Lalu bagaimana dengan sisanya? Mereka menjadi mesin produksi bagi imperium sekaligus konsumen yang diperlukan agar imperium tetap meraup keuntungan. Jika setiap orang di antara mereka memperoleh gelar sarjana, hal itu tidak akan mengubah status mereka, melainkan hanya menurunkan upah kelas manajemen — yang pada dasarnya hanyalah penyedia jasa bagi elite keuangan korporat. Elite inilah yang mengendalikan hampir segala sesuatu hanya dengan mengontrol ketersediaan uang di semua tingkat, dari atas hingga bawah. Itulah sebabnya perjuangan kerasmu untuk membiayai kuliah berlangsung dalam sebuah ekonomi kapitalis yang sepenuhnya digerakkan oleh logika keuntungan…
Meraih hal-hal mendasar seperti pendidikan di dalam lingkungan yang kompetitif dan “saling bunuh” seperti ini membuat banyak orang menjadi “keras”. Dan memang itulah yang diinginkan imperium: orang-orang berijazah yang keras kepala untuk mengatur kaum proletar yang dibodohkan dan diberi makan berlebihan, yang aktivitas mentalnya hanya berupa menancapkan otak mereka ke televisi agar bisa menyerap pesan untuk membeli lebih banyak, serta larut dalam tontonan dan sirkus yang disediakan oleh korporasi media yang pada dasarnya beroperasi sebagai perpanjangan dari sistem propaganda negara kapitalis…
Saat ini kita sedang menyaksikan proletarisasi para lulusan perguruan tinggi, karena semakin banyak dari mereka yang terpaksa bekerja di sektor jasa dan pekerjaan kasar. (Ingatlah bahwa hanya dibutuhkan sejumlah kecil orang untuk secara langsung maupun tidak langsung mengelola massa pekerja — yang hari ini mencakup pekerja seperti teknisi rumah sakit dan ribuan pekerjaan lain yang secara tradisional tidak kita anggap sebagai kelas pekerja).
Artikel ini dipublikasikan pada Jumat, 28 Maret 2008.
Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.
The Center for a Stateless Society (www.c4ss.org) is a media center working to build awareness of the market anarchist alternative
Source: https://c4ss.org/content/60786
Anyone can join.
Anyone can contribute.
Anyone can become informed about their world.
"United We Stand" Click Here To Create Your Personal Citizen Journalist Account Today, Be Sure To Invite Your Friends.
Before It’s News® is a community of individuals who report on what’s going on around them, from all around the world. Anyone can join. Anyone can contribute. Anyone can become informed about their world. "United We Stand" Click Here To Create Your Personal Citizen Journalist Account Today, Be Sure To Invite Your Friends.
LION'S MANE PRODUCT
Try Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend 60 Capsules
Mushrooms are having a moment. One fabulous fungus in particular, lion’s mane, may help improve memory, depression and anxiety symptoms. They are also an excellent source of nutrients that show promise as a therapy for dementia, and other neurodegenerative diseases. If you’re living with anxiety or depression, you may be curious about all the therapy options out there — including the natural ones.Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend has been formulated to utilize the potency of Lion’s mane but also include the benefits of four other Highly Beneficial Mushrooms. Synergistically, they work together to Build your health through improving cognitive function and immunity regardless of your age. Our Nootropic not only improves your Cognitive Function and Activates your Immune System, but it benefits growth of Essential Gut Flora, further enhancing your Vitality.
Our Formula includes: Lion’s Mane Mushrooms which Increase Brain Power through nerve growth, lessen anxiety, reduce depression, and improve concentration. Its an excellent adaptogen, promotes sleep and improves immunity. Shiitake Mushrooms which Fight cancer cells and infectious disease, boost the immune system, promotes brain function, and serves as a source of B vitamins. Maitake Mushrooms which regulate blood sugar levels of diabetics, reduce hypertension and boosts the immune system. Reishi Mushrooms which Fight inflammation, liver disease, fatigue, tumor growth and cancer. They Improve skin disorders and soothes digestive problems, stomach ulcers and leaky gut syndrome. Chaga Mushrooms which have anti-aging effects, boost immune function, improve stamina and athletic performance, even act as a natural aphrodisiac, fighting diabetes and improving liver function. Try Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend 60 Capsules Today. Be 100% Satisfied or Receive a Full Money Back Guarantee. Order Yours Today by Following This Link.
