Read the Beforeitsnews.com story here. Advertise at Before It's News here.
Profile image
By Center for a Stateless Society
Contributor profile | More stories
Story Views
Now:
Last hour:
Last 24 hours:
Total:

Ulasan Buku: Liberty in the Age of Terror

% of readers think this story is Fact. Add your two cents.


Oleh: James C. Wilson. Teks aslinya berjudul “Review: Liberty in the Age of Terror”. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ameyuri Ringo.

Support Ringo by considering becoming his Patron.

Grayling, A.C. (2009). Liberty in the Age of Terror: A Defense of Civil Liberties and Enlightenment Values. London: Bloomsbury

Dalam bukunya yang terbit pada tahun 2009, Liberty in the Age of Terror: A Defense of Civil Liberties and Enlightenment Values, filsuf Inggris AC Grayling berusaha melakukan apa yang disarankan oleh subjudulnya. Ia mengajukan argumen untuk libertarianisme sipil dalam dunia pasca tragedi September 11, pada saat ketika lembaga politik di negara asalnya dan AS mendorong peningkatan pengawasan terhadap populasi.

Namun, dari sudut pandang hari ini, Liberty in the Age of Terror terasa agak usang. Buku ini diterbitkan sebelum masa kepresidenan Barack Obama sepenuhnya berlangsung dan jauh sebelum munculnya era reaksi balik yang kini kita kenal sebagai era Donald Trump. Ia juga ditulis sebelum kebocoran Edward Snowden yang mengungkap praktik pengumpulan data massal oleh pemerintah Amerika Serikat dan sekutunya, serta sebelum peristiwa Benghazi, kemunculan ISIS, dan krisis pengungsi Suriah. Bahkan, pada masa Grayling menulis, istilah seperti “berita palsu,” alt-right, atau perdebatan seputar safe space dan trigger warning di kampus-kampus masih belum menjadi bagian utama dari wacana publik.

Buku ini merupakan produk dari zaman ketika George W. Bush dan Dick Cheney masih mendominasi imajinasi politik global. Opini publik baru mulai berbalik menentang perang di Irak dan Afghanistan. Gelombang patriotisme yang dipicu oleh ketakutan pasca-11 September mulai surut, seiring semakin jelasnya bahwa perang tersebut berubah menjadi konflik yang mahal, melelahkan, dan tampak tak berujung.

Dalam konteks itu, kritik terhadap militerisme dan pengawasan negara mulai mendapat tempat di ruang publik. Banyak komentator arus utama mulai mempertanyakan nilai dari pengawasan massal, termasuk melalui kritik terhadap kebijakan seperti USA PATRIOT Act. Undang-undang ini memberi kewenangan bagi pemerintah untuk menahan imigran tanpa batas waktu, mengizinkan FBI mengakses catatan telepon, email, dan keuangan tanpa perintah pengadilan, serta memperluas hak aparat untuk menggeledah properti pribadi tanpa izin atau sepengetahuan pemiliknya.

Meskipun kemudian PATRIOT Act digantikan oleh US Freedom Act, praktik pengawasan massal tetap bertahan dengan bentuk baru. Dalam hal ini, Liberty in the Age of Terror berfungsi sebagai pengingat tentang bagaimana semua itu dimulai, meskipun wacana politik masa kini—dengan isu seperti tembok perbatasan atau larangan perjalanan—telah bergerak cukup jauh dari konteks aslinya.

Salah satu kelemahan buku ini adalah sifatnya yang relatif ringan dan mudah diikuti. Bagi pembaca yang mengharapkan analisis mendalam tentang hak-hak sipil, buku ini mungkin terasa dangkal. Namun, sebagai pengantar yang dirancang untuk menjangkau audiens luas, tujuannya tetap mulia: memperkenalkan nilai-nilai hak sipil secara jelas dan persuasif. Dalam hal ini, Grayling berhasil, walau buku ini mungkin tidak cukup kuat untuk mengubah pandangan mereka yang sejak awal sudah menolak argumen pro-hak sipil.

Grayling menulis dengan gaya yang fasih dan penuh keyakinan, namun ia juga secara terbuka menyatakan dirinya bukan seorang libertarian. Sayangnya, di sinilah muncul kelemahan lain: ia terjebak dalam stereotip bahwa libertarianisme adalah ideologi kanan yang egoistis, berorientasi pada kepentingan pribadi, dan tidak menghargai hak-hak orang lain. Ia menggambarkan libertarian sebagai kelompok yang “tidak terlalu ramah terhadap gagasan tentang hak,” dengan asumsi bahwa bagi mereka, hak hanyalah penghalang bagi kepentingan individual.

Padahal, banyak libertarian yang justru sangat berkomitmen pada konsep hak-hak individual, meskipun mereka menolak beberapa versi “hak” yang diajukan oleh tradisi politik lain. Grayling juga mengabaikan keberadaan libertarian kiri—mereka yang memperjuangkan kebebasan individu bukan demi kepentingan pribadi, tetapi karena meyakini bahwa kebebasan sejati akan meningkatkan kesejahteraan semua orang. Kekeliruan ini tidak merusak keseluruhan argumennya, tetapi menunjukkan keterbatasan perspektif yang ia gunakan.

Grayling menyebut dirinya bagian dari “Kiri Liberal” dalam pengertian Eropa, yang masih erat kaitannya dengan gagasan keadilan sosial—sebuah istilah yang, pada waktu itu, belum menjadi beban ideologis seperti sekarang di kalangan kanan.

Dukungan Grayling terhadap lembaga-lembaga global juga mencerminkan keyakinan kuat pada tatanan internasional liberal. Ia mendedikasikan satu bab khusus untuk membela Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan menyertakan teks lengkap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB sebagai lampiran. Namun, kepercayaannya pada lembaga-lembaga supranasional ini terasa agak paradoksal, mengingat salah satu kritik utamanya justru adalah terhadap kekuasaan negara yang terlalu terpusat.

Dalam buku ini, Grayling menyoroti ancaman terhadap kebebasan pribadi baik di Inggris maupun Amerika Serikat. Ia mengaitkan berkembangnya sistem CCTV yang menyebar di seluruh Inggris dengan sikap “keras terhadap kejahatan” pada era 1990-an, yang menciptakan kultur pengawasan konstan di ruang publik. Ia bahkan membayangkan masa depan orwellian di mana kamera-kamera itu dilengkapi mikrofon, menghapus sepenuhnya privasi percakapan manusia. Grayling menolak argumen klasik bahwa “mereka yang tak punya apa-apa untuk disembunyikan tak punya alasan untuk takut,” karena asumsi itu keliru: ia menganggap kekuasaan negara tidak pernah sepenuhnya dapat dipercaya, dan selalu berpotensi disalahgunakan.

Ia menegaskan bahwa negara akan mudah berubah menjadi represif jika tidak diawasi oleh warganya. Hak atas privasi, baginya, adalah fondasi dari masyarakat yang benar-benar bebas. Ia juga menentang undang-undang yang mewajibkan warga Inggris membawa kartu identitas biometrik—aturan yang memang sempat disahkan, namun akhirnya dicabut pada tahun 2010.

Seiring berjalannya buku, Grayling memperluas pembahasannya ke persoalan-persoalan yang lebih filosofis. Ia berargumen bahwa masyarakat bebas harus memberi ruang, bahkan bagi mereka yang ingin membatasi kebebasan itu sendiri. Dalam konteks perdebatan tentang imigrasi Muslim di Inggris, misalnya, Grayling berpendapat bahwa ancaman terhadap kebebasan yang muncul dari kebijakan pengekangan jauh lebih besar daripada ancaman yang mungkin datang dari kelompok imigran itu sendiri. Ia menolak sensor atas ucapan yang menyinggung atas nama “kohesi sosial,” dan bahkan menilai sensor diri demi ketertiban publik dapat sama berbahayanya dengan sensor oleh negara.

Struktur buku ini terdiri dari dua bagian besar: sekitar 150 halaman pertama berisi argumen dasar dan pengantar bagi pembaca awam, sementara bagian kedua membahas tanggapan terhadap sejumlah tokoh yang tidak sependapat dengannya. Di antara nama-nama yang ia bahas terdapat Roger Scruton, John Ralston Saul, dan Slavoj Žižek.

Tema-tema utama dalam bagian kedua buku ini mencakup ketegangan yang muncul akibat pluralisme, hubungan antara libertarianisme sipil dan sekularisme, serta pertentangan antara kebebasan dan tradisionalisme yang kaku. Di bagian ini, Grayling juga menanggapi pandangan sejumlah tokoh, termasuk konservatif Inggris Roger Scruton, pemikir anti-manajerial John Ralston Saul, dan filsuf kiri Slavoj Žižek.

Di antara para tokoh yang dikritik Grayling, Žižek mungkin adalah sosok yang paling menonjol sejak buku ini diterbitkan. Grayling menggambarkan Žižek sebagai berpandangan bahwa hak-hak yang tampaknya dijamin dalam masyarakat kapitalis sebenarnya hanya menutupi eksploitasi mendasar yang menjadi fondasi sistem tersebut. Sebaliknya, Grayling menilai bahwa hak-hak yang ada di masyarakat Barat kapitalis merupakan hasil dari perjuangan panjang dan berat, meskipun tetap belum sepenuhnya sempurna.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, buku ini memang membahas sejumlah gagasan yang cukup kompleks, tetapi disajikan dengan tingkat kedalaman yang sesuai bagi pembaca yang belum akrab dengan topik hak-hak sipil. Bahasanya mengalir dan mudah diikuti, menjadikannya bacaan yang ringan namun informatif. Kelemahan utamanya terletak pada konteksnya yang kini terasa agak usang, tetapi Liberty in the Age of Terror tetap relevan bagi siapa pun yang ingin memahami kembali wacana kebebasan sipil pada masa pasca-kepresidenan kedua George W. Bush.

Seluruh hasil publikasi didanai sepenuhnya oleh donasi. Jika kalian menyukai karya-karya kami, kalian dapat berkontribusi dengan berdonasi. Temukan petunjuk tentang cara melakukannya di halaman Dukung C4SS: https://c4ss.org/dukung-c4ss.

The Center for a Stateless Society (www.c4ss.org) is a media center working to build awareness of the market anarchist alternative


Source: https://c4ss.org/content/60857


Before It’s News® is a community of individuals who report on what’s going on around them, from all around the world.

Anyone can join.
Anyone can contribute.
Anyone can become informed about their world.

"United We Stand" Click Here To Create Your Personal Citizen Journalist Account Today, Be Sure To Invite Your Friends.

Before It’s News® is a community of individuals who report on what’s going on around them, from all around the world. Anyone can join. Anyone can contribute. Anyone can become informed about their world. "United We Stand" Click Here To Create Your Personal Citizen Journalist Account Today, Be Sure To Invite Your Friends.


LION'S MANE PRODUCT


Try Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend 60 Capsules


Mushrooms are having a moment. One fabulous fungus in particular, lion’s mane, may help improve memory, depression and anxiety symptoms. They are also an excellent source of nutrients that show promise as a therapy for dementia, and other neurodegenerative diseases. If you’re living with anxiety or depression, you may be curious about all the therapy options out there — including the natural ones.Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend has been formulated to utilize the potency of Lion’s mane but also include the benefits of four other Highly Beneficial Mushrooms. Synergistically, they work together to Build your health through improving cognitive function and immunity regardless of your age. Our Nootropic not only improves your Cognitive Function and Activates your Immune System, but it benefits growth of Essential Gut Flora, further enhancing your Vitality.



Our Formula includes: Lion’s Mane Mushrooms which Increase Brain Power through nerve growth, lessen anxiety, reduce depression, and improve concentration. Its an excellent adaptogen, promotes sleep and improves immunity. Shiitake Mushrooms which Fight cancer cells and infectious disease, boost the immune system, promotes brain function, and serves as a source of B vitamins. Maitake Mushrooms which regulate blood sugar levels of diabetics, reduce hypertension and boosts the immune system. Reishi Mushrooms which Fight inflammation, liver disease, fatigue, tumor growth and cancer. They Improve skin disorders and soothes digestive problems, stomach ulcers and leaky gut syndrome. Chaga Mushrooms which have anti-aging effects, boost immune function, improve stamina and athletic performance, even act as a natural aphrodisiac, fighting diabetes and improving liver function. Try Our Lion’s Mane WHOLE MIND Nootropic Blend 60 Capsules Today. Be 100% Satisfied or Receive a Full Money Back Guarantee. Order Yours Today by Following This Link.


Report abuse

Comments

Your Comments
Question   Razz  Sad   Evil  Exclaim  Smile  Redface  Biggrin  Surprised  Eek   Confused   Cool  LOL   Mad   Twisted  Rolleyes   Wink  Idea  Arrow  Neutral  Cry   Mr. Green

MOST RECENT
Load more ...

SignUp

Login